Jumat, 20 Mei 2011

Merefleksi Guru Swasta

Aku menyebutnya guru swasta, untuk memberikan julukan status teman-temanku guru yang non-PNS dan mengajar di sekolah/madrasah swasta. Bahkan Pemerintah dan para anggota DPR RI kayaknya tak banyak tahu, bahwa di sekolah/madrasah swasta itu mereka masih dibedakan lagi oleh pihak Yayasan yang merekrut mereka.

Sebagian kecil mereka ditetapkan sebagai guru tetap dan banyak lainnya yang diangkat oleh Yayasan menjadi guru tidak tetap. Kewajiban mereka sama dihadapan siswa dalam ruang-ruang kelas, tetapi dibayar lebih kecil di ketentuan hak menerima kesejahteraan. Lengkap sudah keterpurukan nasib guru swasta berstatus guru tidak tetap Yayasan ini, karena Pemerintah dan anggota DPR RI pun tak mau tahu ihwal adanya ketimpangan tersebut.

Yang Pemerintah dan anggota DPR ketahui ternyata hanya guru non-PNS dengan status guru tidak tetap yang mengajar di sekolah/madrasah negeri. Mereka menyebutnya sebagai guru honorer. Dan terbukti pada tahun 2005, selayaknya anak emas negara, kepada mereka diberikan hak menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tanpa tes, asalkan sesuai dengan ketentuan dalam PP 48/2005, yang bagi guru swasta PP ini sangat diskriminatif.

Perlakuan diskriminatif ini ditunjukkan terang-terangan lagi pada tahun 2006, dimana para guru swasta untuk mendaftarkan diri sebagai peserta tes CPNS saja tak boleh, karena dilarang oleh aturan dalam surat Men-PAN No. B/2409/M.PAN/10/2006.

Tak menyalahi kodrat, mereka yang sama-sama merasakan getirnya didiskriminasi mulai berhimpun dalam wadah-wadah organisasi guru swasta. Kemudian pada tahun 2007 terjadilah beberapa kali penekanan dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, tapi malah secara arogan pemerintah menerbitkan PP nomor 43/2007.demi memperkuat posisi PP 48/2005.

Di penghujung tahun 2006 program sertifikasi guru dalam jabatan hanya dikhususkan bagi guru PNS. Sejak tahun 2007 guru swasta diberi kesempatan hanya yang berstatus guru tetap Yayasan, sedangkan guru tidak tetap Yayasan diabaikan, bahkan didiskualifikasi bagi yang terlanjur tercatat sebagai peserta sertifikasi guru dalam jabatan.

Seandainya semua guru swasta boleh mengikuti pun jatahnya juga cuma 15% sampai maksimal 25% dari jumlah seluruh peserta. Prosentase ini jelas memperlihatkan suatu bentuk kebijakan diskrimnatif juga. Halnya berlanjut hingga ke pencairan Tunjangan Profesi Pendidik. Guru-guru PNS, walau lulus lebih kemudian, dikedepankan penerimaannya ketimbang guru swasta yang masih direbetkan dengan proses inpassing berlarut-larut.

Makin tidak adil dan tidak realistis perlakuan pemerintah, ketika kepada guru swasta yang mengajar kurang dari 24 jam/minggu malah dikenakan disinsentif. Padahal jika pemerintah berkenan menggunakan pendekatan kesejahteraan, seharusnya merekalah yang lebih pantas mendapatkan Tunjangan Fungsional, misalnya.

Sekarang, 2011, nasib guru swasta tetap saja swasta. Tak ada tangan pemerintah dan wakil rakyat yang benar-benar peduli, kecuali melemparkan janji-janji yang malah membuat guru swasta banyak lupa diri. Bahwa menjadi guru swasta seharusnya profesional, bermartabat, dan sejahtera. Dan ini tak harus dijalani melalui sulih status menajdi PNS. Jadi, tak salah lagi, jika persoalan guru swasta ini meyakinkan sekali sebagai persoalan masalah pendidikan yang paling Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar