Selasa, 12 Juli 2011

Kata Tumpak Hutabarat : Tenaga Honorer yang Berkerja di Instansi Swasta Tidak Memenuhi Kriteria Kategori I Maupun II

Senin, 11 Juli 2011 14:50
Audiensi DPRD Kabupaten Merangin ke BKN

Jakarta-Humas BKN, Kesedihan tampak dari wajah Laila dan Gina, dua orang honorer yang ikut hadir dalam audiensi antara anggota DPRD Kabupaten Merangin dengan BKN, Senin (11/7). Laila dan Gina sendiri merupakan tenaga honorer yang tidak lolos dalam database kategori I dan telah dilakukan verifikasi dan validasi oleh BKN dan BPKP pada 2010 lalu. Mereka merupakan wakil dari 32 orang honorer yang tidak lolos masuk data ketegori I. Kedatangan mereka ke BKN merupakan bentuk upaya untuk menyalurkan aspirasi nasib mereka yang difasilitasi oleh DPRD Kabupaten Merangin, BKD dan Asisten Sekretaris Daerah.


Para anggota Dewan ini diterima langsung oleh Kepala Bagian Humas Tumpak Hutabarat, Kepala Seksi Dalpeg III C Agus TK dan Fungsional Umum M. Reza Putra di Ruang Data lantai 1 Gedung I BKN Pusat Jakarta. Dalam pemaparannya, Anggota Dewan menyampaikan asprirasi para tenaga honorer yang tidak masuk dalam database kategori I dimana mereka terganjal kali pertama pada tahun 2005 dikarenakan masa kerja kurang dua hari untuk genap satu tahun pada 2005, dan kemudian terganjal lagi pada pendataan tahun 2010 dikarenakan bekerja bukan di instansi pemerintah. Lebih lanjut Para anggota dewan menjelaskan bahwa mereka (honorer-red) telah bekerja sejak tahun 2002. Dalam audiensi para anggota dewan mempertanyakan apakah masih dimungkinkan 32 tenaga honorer ini masuk dalam data untuk kategori I ataupun II karena SK pengangkatan ditandatangani Bupati Merangin dan sumber pembiayaan dari APBD Kabupaten Merangin.


Menanggapi hal itu, Tumpak Hutabarat menjelaskan bahwa BKN hanya melaksanakan kebijakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Terkait para honorer yang ada tersebut, kebijakan pemerintah menetapkan bahwa syarat akumulatif yang ditetapkan di antaranya mengharuskan honorer yang bersangkutan bekerja pada instansi pemerintah, sehingga apabila ada honorer yang bekerja di instansi swasta meskipun dibiayai oleh APBD, maka honorer tersebut tidak dapat masuk kategori I maupun II. Namun demikian, Tumpak Hutabarat menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang menggodok RPP tentang pengangkatan tenaga honorer yang tercecer dan juga tentang pegawai tidak tetap (PTT) guna mengakomodir para tenaga honorer yang tidak dapat menjadi CPNS. “PNS bukanlah segala-galanya, dan mudah-mudahan ibu-ibu ini (honorer-red) mendapatkan kompensasi yang layak dengan RPP PTT yang akan dikeluarkan pemerintah,” pesan Tumpak Hutabarat pada tenaga honorer Kabupaten Merangin. (fhu)

Senin, 23 Mei 2011

Halah, Komite Sekolah

Masalah muncul nanti setelah para orangtua menerima pengumuman pendaftaran ulang masuk sekolah untuk anaknya. Kalau bisa sih sekolah gratis, tapi mana ada sekolah yang tidak mengenakan pungutan untuk mendanai keunggulannya.

Lalu semua sekolah mulai menonjolkan peran komite sekolah. Sebab banyak kebijakan keuangan sekolah yang harus dilegalisir oleh komitenya, bukan melulu kepala sekolah dan para stafnya. Besar juga andil komite sekolah dalam menentukan seberapa murah atau mahalnya pungutan tersebut, baik sebelum maupun sesudah dilegitimasi dengan persetujuan kepala daerah.

Kalau tak puas, para orangtua akan minta keringanan, atau protes ke kepala sekolah.Ini artinya masyarakat atau para orangtua tidak mengaitkan dengan kinerja para fungsionaris komite sekolah, sehingga apriori kepada kepala sekolah dan stafnya.

Sebagai suatu lembaga yang bersifat mandiri, komite sekolah tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan, tetapi dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat (stakeholders pendidikan) dengan pemerintah demi menampung dan menganalisis berbagai ide, tuntutan, dan kebutuhan dunia pendidikan yang diajukan oleh masyarakat, para praktisi dan pemerhati pendidikan.

Namun perlu diakui, bahwa sampai detik ini keberadaan dan fungsi dari sebagian besar komite sekolah masih belum mantap, belum sesuai harapan, belum optimal. Bahkan citra komite sekolah sebagai lembaga identik dengan BP3 tempo dulu masih sangat membekas.

Lebih ditegaskan lagi dengan sepak-terjang komite sekolah yang nampak hanya beroperasional aktif di seputar penggalian dana, terutama di awal tahun ajaran beberapa bulan lagi. Perannya begitu besar disaat pungutan dana sumbangan kegiatan sekolah disampaikan kepada para orangtua siswa baru.

Jumat, 20 Mei 2011

Merefleksi Guru Swasta

Aku menyebutnya guru swasta, untuk memberikan julukan status teman-temanku guru yang non-PNS dan mengajar di sekolah/madrasah swasta. Bahkan Pemerintah dan para anggota DPR RI kayaknya tak banyak tahu, bahwa di sekolah/madrasah swasta itu mereka masih dibedakan lagi oleh pihak Yayasan yang merekrut mereka.

Sebagian kecil mereka ditetapkan sebagai guru tetap dan banyak lainnya yang diangkat oleh Yayasan menjadi guru tidak tetap. Kewajiban mereka sama dihadapan siswa dalam ruang-ruang kelas, tetapi dibayar lebih kecil di ketentuan hak menerima kesejahteraan. Lengkap sudah keterpurukan nasib guru swasta berstatus guru tidak tetap Yayasan ini, karena Pemerintah dan anggota DPR RI pun tak mau tahu ihwal adanya ketimpangan tersebut.

Yang Pemerintah dan anggota DPR ketahui ternyata hanya guru non-PNS dengan status guru tidak tetap yang mengajar di sekolah/madrasah negeri. Mereka menyebutnya sebagai guru honorer. Dan terbukti pada tahun 2005, selayaknya anak emas negara, kepada mereka diberikan hak menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tanpa tes, asalkan sesuai dengan ketentuan dalam PP 48/2005, yang bagi guru swasta PP ini sangat diskriminatif.

Perlakuan diskriminatif ini ditunjukkan terang-terangan lagi pada tahun 2006, dimana para guru swasta untuk mendaftarkan diri sebagai peserta tes CPNS saja tak boleh, karena dilarang oleh aturan dalam surat Men-PAN No. B/2409/M.PAN/10/2006.

Tak menyalahi kodrat, mereka yang sama-sama merasakan getirnya didiskriminasi mulai berhimpun dalam wadah-wadah organisasi guru swasta. Kemudian pada tahun 2007 terjadilah beberapa kali penekanan dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, tapi malah secara arogan pemerintah menerbitkan PP nomor 43/2007.demi memperkuat posisi PP 48/2005.

Di penghujung tahun 2006 program sertifikasi guru dalam jabatan hanya dikhususkan bagi guru PNS. Sejak tahun 2007 guru swasta diberi kesempatan hanya yang berstatus guru tetap Yayasan, sedangkan guru tidak tetap Yayasan diabaikan, bahkan didiskualifikasi bagi yang terlanjur tercatat sebagai peserta sertifikasi guru dalam jabatan.

Seandainya semua guru swasta boleh mengikuti pun jatahnya juga cuma 15% sampai maksimal 25% dari jumlah seluruh peserta. Prosentase ini jelas memperlihatkan suatu bentuk kebijakan diskrimnatif juga. Halnya berlanjut hingga ke pencairan Tunjangan Profesi Pendidik. Guru-guru PNS, walau lulus lebih kemudian, dikedepankan penerimaannya ketimbang guru swasta yang masih direbetkan dengan proses inpassing berlarut-larut.

Makin tidak adil dan tidak realistis perlakuan pemerintah, ketika kepada guru swasta yang mengajar kurang dari 24 jam/minggu malah dikenakan disinsentif. Padahal jika pemerintah berkenan menggunakan pendekatan kesejahteraan, seharusnya merekalah yang lebih pantas mendapatkan Tunjangan Fungsional, misalnya.

Sekarang, 2011, nasib guru swasta tetap saja swasta. Tak ada tangan pemerintah dan wakil rakyat yang benar-benar peduli, kecuali melemparkan janji-janji yang malah membuat guru swasta banyak lupa diri. Bahwa menjadi guru swasta seharusnya profesional, bermartabat, dan sejahtera. Dan ini tak harus dijalani melalui sulih status menajdi PNS. Jadi, tak salah lagi, jika persoalan guru swasta ini meyakinkan sekali sebagai persoalan masalah pendidikan yang paling Indonesia.

Organisasi Guru Swasta Kok Nuntutnya PNS

Mendirikan organisasi tentu memiliki visi yang jelas agar setiap langkah perjuangan dilakukan dengan tegas dan terarah. Tidak perlu terang-terangan saya tunjukkan, tapi saya tahu beberapa organisasi guru swasta yang berjuang demi menjadi PNS. Inilah organisasi guru paling Indonesia.

Di samping berunjuk rasa, beberapa organisasi guru swasta itu telah bolak-balik ke Jakarta melakukan audiensi dengan Komisi-komisi di DPR RI, terkait dengan masalah pengangkatan guru honorer non APBD/APBN menjadi CPNS. Tetapi, sampai tahun 2011 ini peraturan pemerintah tentang guru swasta yang didambakan itu belum juga terbit.

Perjuangan mereka pun berlanjut sampai detik ini, walau bagi saya terasa banget adanya kontradiksi. Mereka membanggakan diri berorganisasi sebagai guru swasta, berjuang tak kenal lelah, melakukan perlawanan dan penekanan kepada pemerintah dan DPR RI, tetapi kok nuntutnya menjadi guru PNS. Ini kan jadi seperti pengusaha tahu yang selalu bermimpi sukses jadi pengusaha tempe.

Setiap guru swasta memiliki banyak kekurangan, di samping kelebihannya. Alih-alih memahami ini sebagai suatu keniscayaan, masih banyak yang memandang kekurangan itu bagaikan sebuah borok bagi dunia pendidikan, sehingga wajib disembuhkan. Maunya kesembuhan itu berlangsung dengan segera, dengan pendekatan mengangkat mereka menjadi guru PNS. Padahal guru-guru honorer PP 48/1005 jo PP43/2007 saja masih perlu dipertanyakan, capaian apa yang telah dihasilkannya selama ini, selain hanya sekedar bersulih status?

Selama ini tidak henti-hentinya guru diminta segera mengubah realita keterpurukan dunia pendidikan kita. Untuk itu, berbagai topik seminar, lokakarya, atau semiloka sudah dan akan sering digelar. Tentu saja diikuti oleh banyak guru dengan berbagai alasan. Apapun itu, sayangnya belum bisa sepenuhnya ditunjukkan hasil didikannya oleh para lulusan kemarin.

Jumat, 13 Mei 2011

Halah, Sekolah!

Menjelang sekolah mengakhiri tahun ajaran dan hendak memulai tahun ajaran baru, kayaknya hampir setiap orangtua siswa tahu, meskipun tidak semua merasakan, bahwa pendidikan kok sepertinya sudah diperlakukan sebagai komoditas.

Buktinya, pendidikan diatur sesuai hukum pasar. Siapa yang mampu membeli, silahkan ambil barangnya dan siapa bisa membayar silahkan masuk. Celakanya, bila para siswa tidak bisa melunasi SPP dll yang dipersyaratkan, maka tidak dapat masuk di sekolah tersebut. Mereka yang sudah berstatus siswa pun tidak diperkenankan mengikuti ulangan semester, ujian dan sebagainya, selalu dikurangi atau dihilangkan hak-hak menikmati pendidikan seperti yang lainnya.

Halah, mengerti begitu tetap saja banyak orangtua berebut pengen menyekolahkan anaknya di sekolah favorit yang mesti mahal beayanya. Sebab, ada banyak janji pemberian beasiswa untuk orang miskin. Tapi dalam praktiknya sering mengecewakan, karena beasiswa hanya diberikan kepada amat sedikit orang miskin yang pintar saja. Lalu bagaimana nasib para orangtua siswa yang membeayai pendidikan anak-anak mereka yang tidak pintar dan mereka terlanjur miskin?

Kalau dikatakan ironis juga benar adanya, yaitu ihwal kucuran dana subsidi pemerintah untuk peningkatan mutu pendidikan. Jatuhnya lebih sering ke halaman sekolah-sekolah favorit, yang kebanyakan muridnya justeru pintar dan kaya.

Di sisi lain, rasa-rasanya pemerintah masih membiarkan rakyat semakin tidak mempercayai upaya penyelenggarakan pendidikan gratis. Bahkan dianggap bohong, dengan bukti dihadapkannya mereka terus-menerus dengan biaya sekolah yang menjadi semakin mahal. Padahal sebentar lagi para orangtua akan memasukkan kembali anak-anaknya ke sekolah baru.

Kalau terhadap rakyat seperti itu, bagaimana untuk berniat meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya.

Halah, Pemerintah !

Ya, ya! Bisa boleh dipercaya kok kalau pemerintah sudah berbenah ihwal sekolah dan guru-gurunya. Program membenahi sekolah yang dinding-dinding atau atap kelasnya rusak memang sudah lama ada. Bahkan semua tahu juga lah kalau untuk itu disediakan dana milyaran rupiah.

Ah, tapi jangan mengelak loh, nyatanya masih selalu ada kok berita sekolah rusak dan tak layak dipakai buat kegiatan belajar mengajar. Itu tak termasuk yang dihancurkan oleh bencana alam.

Di sisi lain, rasa-rasanya pemerintah masih membiarkan rakyat semakin tidak mempercayai upaya penyelenggarakan pendidikan gratis. Bahkan dianggap bohong, dengan bukti dihadapkannya mereka terus-menerus dengan biaya sekolah yang menjadi semakin mahal. Padahal sebentar lagi para orangtua akan memasukkan kembali anak-anaknya ke sekolah baru.

Kalau terhadap rakyat seperti itu, bagaimana untuk berniat meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya.

Halah, Berani Melawan Perintah Pemerintah

Setiap kali saya melihat rakyat ditertibkan, herannya kok rakyat malah berani melawan pemerintah. Walau biasanya juga kalah, seperti penertiban pasar dan kaki lima, atau bangunan liar. Dan yang terakhir ini, mereka yang naik kereta api secara nekat. Ada yang tanpa membeli karcis, ada yang enjoy menduduki atap-atap gerbong.

Tapi kok sisi edukasinya ada setelah saya menyimak peristiwa aktual yang dilakukan oleh mereka itu. Saya melihatnya dari keberanian mereka melawan pemerintah. Bahwa demi sesuatu yang hanya mereka yang bisa memahami, pemerintah tidak, mereka tak kenal lagi apa itu ketertiban yang dikehendaki oleh aturan.

Fenomena ini akan berlangsung sampai kapan? Apakah yang sedang dilakukan guru-guru di ruang-ruang kelas tidak mungkin dapat dikaitkan dengan itu?

Halah, biarin saja lah mereka berani melawan pemerintah. Orang wakil-wakil mereka yang duduk di dewan perwakilan terhormat juga nggak peduli kok.