Senin, 19 Januari 2009

Guru-Guru Juara atau Juaranya Guru-Guru

Guru-guru juara. Ada kebanggaan tersendiri bisa berteman dengan mereka, meskipun mereka itu biasanya dari jenis manusia yang tidak gila hormat. Mereka dihargai karena prestasi yang diraihnya. Prestasi itu mereka ukir dengan mendapatkan penghargaan dari memenangkan lomba kepiawaian menunjukkan kompetensi. Bahkan ada yang berkali-kali, dan orangnya dari dia ke dia juga, seakan-akan memberikan sinyal, bahwa di Ponorogo ini kekurangan guru yang mampu memiliki kompetensi sekaliber dia.
Dari guru-guru juara dapat diambil hikmah, bahwa membina hubungan baik antara sesama guru, atau dengan atasannya, atau dengan bawahannya, dan memiliki strategi penanggulangan jika menghadapi masalah adalah kunci keberhasilan mereka. Kiat ini terasa terlalu umum sifatnya, tetapi rinciannya dapat kita peroleh melalui kajian atas sepak-terjang mereka di dunia pendidikan.
Walaupun akhir-akhir ini beberapa dari mereka mengurangi aktivitasnya mengikuti lomba, alih-alih kehabisan energi guru-guru juara malah membaktikan kapasitas ‘jawara’-nya kepada para calon-calon juara. Mereka mulai menjalankan misi mencetak para calon juara secara rutin dengan metode membeberkan secara gamblang pengetahuan dan ketrampilannya menulis melalui motivasi di Ponorogo Pos. Bagaimana dengan kiprah mereka di dalam ruang-ruang kelas? Tentunya lebih seru dan mengasyikkan. Maka berbahagialah murid-murid yang sempat berguru langsung kepada mereka.
Bagi orangtua murid, kesuksesan guru-guru juara itu menunjukkan, bahwa untuk sukses dalam hidup ternyata ada faktor lain yang paling tidak sama pertingnya dengan IQ, yaitu kecerdasan emosional. Bahkan mereka bisa diyakinkan, bahwa untuk memanfaatkan atau mengembangkan kecerdasan kognitif sampai puncaknya, pada awalnya dibutuhkan kecerdasan emosional yang memadai.
Guru-guru juara memiliki kepekaan sosial yang besar. Hasil dari ‘olah rasa’-nya ini menyebabkan mereka mudah menjalani kehidupan secara efektif dan produktif. Mereka benar-benar orang yang tidak butuh sakit dulu untuk sembuh.
Belajar dari Rhenald Kasali (2006), kita jadi tahu guru-guru juara itu bisa meraih apa yang diperolehnya sekarang, setelah mereka berubah jauh sebelum guru-guru lainnya dituntut berubah oleh Sistem Pendidikan Nasional. Mereka tentu saja bukan pembangkang yang mau gampang saja, melainkan bertindak realistis dalam merespon stakeholders perubahan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa bukan yang terkuat yang mampu survive melainkan yang paling adaptif, yaitu mereka yang selalu menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan.
Good is the enemy of great. Maksudnya, kalau seseorang menganggap prestasinya sudah baik, dan para pengikutnya merasa yakin mereka telah mencapai kondisi itu, maka mereka akan terhalang untuk berevolusi memasuki kondisi yang lebih baik. Peringatan yang dinyatakan oleh Rhenald Kasali (2006) ini perlu juga dipertimbangkan oleh guru-guru juara.
Jadi, dapatkah mereka selalu mengulangi keberhasilan? Sebab, tatkala sukses menyertai kita, kebanyakan dari kita sulit membuka mata atas keberhasilan yang sudah dicapai oleh orang lain. Dan baru menyadari untuk mulai melakukan perubahan justeru pada masa-masa sulit, di mana para kompetitor kita sudah jauh di depan. Maka jadilah juaranya guru-guru, dan tidak berhenti menjadi guru-guru juara.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar