Sesungguhnya, nasihat yang benar kepada para orangtua siswa berbunyi: mencari sekolah bermutu adalah lebih bijaksana ketimbang mengejar-ngejar sekolah murah, tetapi menomor-duakan mutunya. Untuk itu, ketika berhadapan dengan tuntutan stakeholders pendidikan akan mutu tersebut, baik sekolah negeri maupun swasta tak akan berani mengelak. Langkah apapun pasti mereka tempuh, asalkan akhirnya mereka akan berkata dengan lantang, bahwa sekolah mereka memberikan pendidikan bermutu.
Namun, terkadang kita temukan juga yang kenyataannya teri mereka bilang kakap, atau sebaliknya, fisiknya sudah segede kakap, citarasanya hanya sekelas teri.
Seseorang secara mudah dapat menilai mutu sekolah dari dua sisi, yaitu akademik atau non akademik. Suatu sekolah tidak disangsikan mutunya, apabila mampu mencuatkan segudang prestasi akademik. Misalnya, rata-rata nilai ujian nasional tinggi, memenangi berkali-kali lomba karya tulis ilmiah, menjadi juara dalam berbagai event olimpiade mata pelajaran, dan dalam pergaulan sehari-hari siswanya menunjukkan pola pikir yang kritis, kreatif, ilmiah dll.
Untuk sisi non akademik, mutu tinggi suatu sekolah dapat dirasakan ketika kita berkunjung ke sekolah tersebut, sehingga melihat langsung bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan. Misalnya, kita bisa mengamati disiplin para siswa di dalam dan di luar kelas, juga terhadap nilai-nilai sosial atas kejujuran, solidaritas, toleransi, iman dan taqwa, serta bagaimana prestasi mereka di bidang olah raga, kesenian, kepramukaan dll, apakah telah diapresiasi dengan reward yang pantas.
Kita sebagai stakeholders pendidikan menilai sekolah hanya dari sisi akademik atau non akademik saja belum cukup. Agar makin proporsional, kita pun perlu mengukur efektivitas proses pembelajaran di sekolah tersebut dengan membandingkan antara input dan output siswa. Bila masukan bagus keluaran juga bagus, berarti prosesnya standar. Masukan bagus keluaran rendah mutunya, pasti kesalahan terletak pada prosesnya. Masukan rendah, keluaran juga tetap rendah, kemungkinan prosesnya asal jalan. Tetapi, bila masukan rendah keluarannya bagus, maka sekolah yang seperti ini sudah semestinya dipenuhi dengan guru-guru bermutu yang rajin mengajar ketimbang seminar.
Namun, ada satu hal yang tak berubah sejak dulu hingga hari ini, yaitu jika kita menghendaki sekolah bermutu, adalah wajib hukumnya menyiapkan saku tebal. Sekolah bermutu tidak akan diperoleh tanpa mengeluarkan biaya mahal lebih dahulu. Untuk itu, sungguh beralasan apabila kita menaruh curiga, ketika mendengar ada sekolah ber-Standar Internasional, memiliki sertifikat ISO dll, tetapi hanya berbiaya lokal. Sebab, bermutu itu mahal.
Itukah alasannya mengapa sekolah bermutu identik dengan sekolah mahal?
Bagi sekolah swasta, jawabannya mudah. Untuk dapat mencapai standar mutu yang diinginkan, sekolah swasta harus mendanai sendiri seluruh pembiayaan pendidikan, yang terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya-biaya itu tentu tidak sedikit. Dan tinggi rendahnya biaya juga masih tergantung dari keberhasilan Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam melakukan advokasi pendidikan dengan memasilitasi sarana-prasarana sekolah-sekolah swasta agar segera sesuai dengan Standar Nasional, bahkan Internasional.
Sebab, jika uluran tangan subsidi Pemerintah/Pemerintah Daerah itu ditarik, alias tidak bersedia memasilitasi upaya terus-menerus meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan, maka mekanisme pendidikan di sekolah swasta akan jatuh pada pengaturan yang sesuai dengan hukum pasar. Mutu akan dijual kepada stakeholders pendidikan yang mampu membeli. Tentunya dengan harga mahal, agar sekolah dapat menutup besarnya pembiayaan. Dan ujung-ujungnya, hanya orangtua kaya yang dapat menyekolahkan anaknya dengan pendidikan bermutu.
Keadaan seperti yang digambarkan di atas, akan menjadi semakin mencemaskan dan menakutkan masyarakat miskin, ketika akhir-akhir ini sekolah-sekolah negeri pun ikut bermain memahalkan biaya. Dalih mereka pun cukup kuat, yaitu penarikan dana dari orangtua siswa setinggi itu demi peningkatan mutu pelayanan. Bahkan semangat mereka menggali dana sampai melebihi pemungutan dana dari orangtua siswa di sekolah swasta. Padahal, untuk sekolah negeri seluruh biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal tentunya ditanggung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Memang, kehendak manajemen sekolah membuat sekolah menjadi mahal tidak dilarang, asalkan dikelola tidak asal-asalan. Mereka harus mengiringi dengan peningkatan dan pengembangan semua sektor pelayanan terhadap siswa khususnya, dan terhadap guru, staf sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat pada umumnya. Perwujudannya mesti tak akan lepas dari mendirikan kelas-kelas elite dengan standar pelayanan tingkat VIP, seperti kelas kemitraan, atau kelas khusus yang lainnya. Kelas-kelas ini dibuat dengan kapasitas maksimal 20 - 24 orang siswa, ruangan ber-AC, fasilitas multi media lengkap, guru-guru menyampaikan pembelajaran secara bilingual, dll. Untuk kelas sehebat yang digambarkan ini tentu tak seorangpun berani meragukan, jika berbiaya mahal (Kalau murah, malah harus dicurigai) Dan dengan kelebihan dana biaya operasional kelas-kelas khusus tersebut, sekolah dapat mensubsidi kelas-kelas reguler, yang dioperasikan dengan biaya lebih murah, tetapi mutunya tidak dikurangi.
Jadi, bermutu itu mahal. Kalau Anda tidak percaya, cobalah menciptakan sekolah murah, agar mudah diakses oleh kalangan apapun, tetapi ada satu syarat, yaitu mutu akademik dan non akademiknya sekelas dengan sekolah elite. Apabila dengan upaya tersebut para orangtua siswa masih belum mampu juga menjangkau biayanya, jangan-jangan kesulitan para orangtua siswa ini disebabkan oleh kemerosotan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia. Kalau betul demikian realitanya, tentu kita berharap para pihak yang terkait mampu segera mengakhiri keadaan yang amat memprihatinkan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar